Minggu, 07 Februari 2010

PERKEMBANGAN KOMUNIKASI MASSA DI INDONESIA

Oleh: Fachrur Rizha, S.Sos.I

a. Surat Kabar dan Majalah

Surat kabar pertama sekali terbit di Jerman pada tahun 1609 yang bernama Ariva Relation Oder Zeitung, kemudian pada tahun 23 Mei 1622 di London terbit Weekly News. Namun surat kabar yang benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxfard Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi London Gazette.

Komunikasi massa dikenal di Indonesia sejak abad ke-18, tahun 1744 ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh pengusahaan Belanda. Kemudian terbit Vendu Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Ketika memasuki abad ke-19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang semuanya diusahakan oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir kaum pribumi yang mengerti bahasa Belanda. Kemudian media massa yang dikelola oleh pribumi mulai dengan terbitnya majalah Bianglala tahun 1854 dan Bomartani 1885, keduanya di Weltevreden. Selain itu pada tahun 1856 terbit Soerat kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Umumnya media itu terbit di Jawa. Ini dikarenakan percetakan sebagai sarana yang sangat vital untuk menerbitkan media hanya ada di Jawa. Itu sebabnya pers di Sumatera dan pulau-pulau lainnya berkembang belakangan. Di Padang misalnya muncul terbit pertama kalinya Pelita Kecil tahun 1882 dan Partja Barat tahun 1892. Kaum pribumi kemudian mulai banyak menerbitkan media sendiri pada abad ke-20.

Setelah kemerdekaan, kehidupan pers ikut menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan. Media pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Seperti di Jakarta terbit Merdeka pada 1 Oktober 1945, di Yogyakarta terbit Kedaulatan Rakya tahun 1945, di Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Pos tahun 1953. Tetapi suasan bebas ini hanya berlangsung selama masa Demokrasi Liberal (1945-1959). Setelah itu muncul Demokrasi terpimpin (1959-1965), pada masa ini banyak pembatasan terhadap kehidupan pers, kerenanya pers Indonesia pada masa itu boleh disebut sebagai pers otoriter. Kemudian pers di Indonesia kembali sedikit menerima udara bebas pada masa Orde Baru lahir tahun 1966 dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1974. Hal ini terlihat dengan terbitnya kembali sejumlah surat kabar yang pada masa Demokrasi Terpimpin pernah di berdel, yaitu Merdeka (Juni 1966), Berita Indonesia (Mei 1966), Indonesia Observer (September 1966), Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober 1968), Pedoman (November 1968) dan Abadi (Desember 1968).

Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila, cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab. Di mana selanjutnya mendapat penegasan dari Tap MPR No.IV/1973 dan Tap MPR No.III/1983 agar pers di Indonesia dijadikan sebagai pers sehat, yaitu pers yang menjalankan fungsinya sebagai penyebar infomasi yang objektif, menyalukan aspirasi rakyat serta memperluas komunikasi dan partisipasi rakyat.

Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.

Pengekangan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).

Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itulah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagai persoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke Presiden Abdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalan baru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih.

Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasi dan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkan kesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggu sejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers, mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDI Perjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melalui aksi-aksi intimidasi terhadap pers. Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melalui berbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancaman internal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkan etika.

Departemen Penerangan, lembaga kontrol yang dua dasawarsa lebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi Pers, dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itu menegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Babak baru perkembangan pers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya, banyak catatan sejarah pers di Indonesia berada pada titik rekaman tekanan dan intimidasi. Pers Indonesia terperangkap dalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah. Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baru yang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya. Kebebasan pers setelah masa reformasi membawa peluang besar bagi kelompok pengusaha.

Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.

Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.

Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisa diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam yang ternyata memang terbukti sangat efektif bahkan sampai pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono kondisi komunikasi massa di Indonesia tampak jauh lebih baik dari sisi penyajiannya, namun sampai saat ini banyak materi-materi yang disajikan, menyimpang dari apa yang dicita-citakan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya media cetak maupun elektronik hadir dikalangan masyarakat, yang orientasinya lebih kepada meraut keuntungan dunia usaha.

B. Televisi
Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962, bertepatan dengan berlangsungnya pesta olahraga se- Asia IV atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi republik Indonesia (TVRI) dipergunakan sebagai panggilan stasiun (station call) sampai sekarang (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999) Selama tahun 1962-1963 TVRI berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya.

Sejalan dengan kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar diberbagai wilayang agar dapat menerima siaran televise, maka pada tanggal 6 Agustus 1976, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan satelit Palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi. Dalam perkembangannya satelit Palapa A selanjutnya Satelit Palapa B, Palapa B-2, Palapa B2P dan Palapa B-4 diluncurkan tahun 1992 (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999).

TVRI yang berada di bawah, Departemen Penerangan, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta jiwa. Sejak tahun 1989 TVRI mendapat saingan televise siaran lainnya, yakni RCTI yang bersifat komersial. Kemudian secara berturut-turut berdiri stasiun televise swasta lainnya seperti SCTV, TPI, ANTV , dll.

Meskipun lima stasiun televisi sudah beroperasi, televise siaran tidaka akan pernah menggeser kedududkan radio siaran, karena radio siaran memiliki karakteristik tersendiri. Televise siaran dan rasio siaran, serta media lainnya berperan salaing mengisi. Televise siaran menggeser radio siaran mungkin dalam hal porsi iklan.

C. Radio
Radio siaran pertama di Indonesia (waktu itu bernama Nederlands Indie-Hindia Belanda), ialah Bataviase radio siaran Vereniging (BRV) di Batavia (Jakarta tempo dulu) yang resminya didirikan pada tanggal 16 juni 1925 pada saat Indonesia masih dijajah Belanda dan berstatus swasta. Setelah BRV berdiri secara serempak berdiri pula badan-badan radio siaran lainnya di kota Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya dan yang paling terbesar dan terlengkap adalah radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Mij) di Jakarta, Bandung, dan Medan, karena mendapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pelopor timbulnya radio siaran usaha bangsa Indonesia adalah Solosche Radio Vereniging (SRV) yang didirikan di kota Solo pada tanggal 1 April 1933 oleh Mangkuneoro VII dan Ir. Sarsito Mangunkusumo.

Ketika Belanda menyerah pada Jepang tanggal 8 Maret 1942, sebagai konsekuensinya, radio siaran yang tadinya berstatus perkumpulan swasta dinonaktifkan dan diurus oleh jawatan khusus bernama Hoso Kanri Kyoku, merupakan pusat radio siaran yang berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai cabang-cabang yang bernama Hoso Kyoku di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Rakyat Indonesia pada masa ini hanya boleh mendengarkan siaran Hoso Kyosu saja. Namun demikian di kalangan pemuda terdapat beberapa orang dengan risiko kehilangan jiwa, secara sembunyi-sembunyi mendengarkan siaran luar negeri, sehingga mereka dapat mengetahui bahwa pada 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah kepada sekutu.

Dengan demikian, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tidak dapat disiarkan langsung melalui radio siaran karena radio siaran masih dikuasai oleh Jepang. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat disiarkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris pukul 19.00 WIB namun hanya dapat didengar ileh penduduk disekitar Jakarta. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945, naskah bersejarah itu dapat dikumandangkan kelluar batas tanah air dengan risiko petugasnya diberondong senjata serdadu Jepang. Tak lama kemudian dibuat pemancar gelap dan berhasil berkumandang di udara radio siaran dengan station call”Radio Indonesia Merdeka”. Dari sinilah Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pimpinan lainnya menyampaikan pidato melalui radio siaran yang ditujukan kepada rakyat Indonesia.

Pada tanggal 11 September 1945 diperoleh kesepakatan dari hasil pertemuan antara para pemimpin radio siaran untuk mendirikan sebuah organisasi radio siaran. Tanggal 11 September itu menjadi hari ulang tahun RRI (Radio Republik Indonesia).

Sampe akhir tahun 1966 RRI adalah satu-satunya radio siaran di Indonesia yang dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah. Peran dan fungsi radio siaran ditingkatkan. Selain berfungsi sebagai media informasi dan hiburan, pada masa orde baru, radio siaran melalui RRI menyajikan acara pendidikan persuasi. Acara pendidikan yang berhasil adalah “Siaran Pedesaan” yang mulai diudarakan pada bulan September 1969 oleh stasiun RRI Regional. Selanjutnya, stasiun RRI Regional juga membantu menginformasikan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana, transmigrasi, kebersihan lingkungan, imunisasi ibu hamil dan balita. Sejalan dengan perkembangan social budaya serta teknologi, maka bermunculan beberapa radio siaran amatir yang diusahakan oleh perorangan. Keadaan ini tidak dapat dihindari, namun perlu ditertibkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Karena jumlah radio siaran swasta niaga semakin lama semakin banyak, serta fungsi dan kedudukannya penting bagi masyarakat, maka pada tahun 1974 stasiun-stasiun radio siaran swasta niaga berhimpun dalam wadah yang dinamakan Persatuan Radio siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI).

D. Film
Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang berjudul Lady Van java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh david. Pada tahun 1927/1928 Krueger Corporation memproduksi film Euis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung , Si Conat, dan Pareh . Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan Cina.

Film bicara yang pertama berjudul Tentang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun . Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang dikelola oleh Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film feature dan fil documenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun, tatkala bangsa Indonesia sudah memprokalmasikan kemerdekaanya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secra resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah berita Film Indonesia atau BFI Bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999).


Referensi:
1. Sudirman Tebba, Jurnalisme Baru, Kalam Indonesia, Jakarta, 2005
2. Lukas Warsono, Pers Indonesia, Pergaulan untuk Kebebasan, http://www.Indo-News.com.
3. Elvinaro Adrianto, et all, Komunikasi Massa , Simbiosa Rekatama Media

1 komentar: