Senin, 22 Februari 2010
TEORI AGENDA SETTING
1. Latar Belakang Teori
Profesor jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw menganggap Watergate sebagai contoh sempurna dari fungsi penetapan agenda media massa. Mereka tidak terkejut bahwa isu Watergate terbakar setelah berbulan-bulan di halaman depan dari Washington Post. McCombs dan Shaw percaya bahwa "media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer item arti penting dari agenda berita mereka ke agenda publik”. Mereka tidak menyarankan bahwa setiap siaran televise dan cetak membuat usaha yang disengaja untuk mempengaruhi pendengar, pemirsa, atau pendapat pembaca pada masalah. Wartawan di dunia bebas memiliki reputasi untuk kemerdekaan dan keadilan. Tapi McCombs dan Shaw mengatakan bahwa kita melihat berita profesional untuk petunjuk di mana untuk memusatkan perhatian kita. "We judge as important what the media judge as important”.
Meskipun McCombs dan Shaw pertama mengacu pada fungsi penetapan agenda media pada tahun 1972, gagasan bahwa orang-orang yang menginginkan bantuan media dalam menentukan realitas politik sudah disuarakan oleh sejumlah analisis peristiwa terkini. Dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana Amerika Serikat telah ditarik ke dalam Perang Dunia I, pemenang Hadiah Pulitzer penulis. Walter Lippmann menyatakan bahwa media bertindak sebagai mediator antara "dunia luar dan gambar-gambar dalam kepala kita". McCombs dan Shaw juga kutipan Universitas Wisconsin ilmuwan politik observasi Bernard Cohen mengenai fungsi khusus melayani media: "The press may not be successful much of the time in telling people what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about”.(Griffin :390-391)
Pada pertengahan abad ke-20, perhatian para cendekiawan media berpaling dari efek yang agak buram dan tampak justru cara-cara di mana media yang kuat dan efek langsung pada individu dan masyarakat, para ahli teori tradisi ini sering dikenal sebagai membiarkan keajaiban peluru atau jarum suntik paradigma yang dipengaruhi oleh efek propaganda di masa perang (khususnya Perang Dunia I) dan menghafal dari media di Hitler naik ke kekuasaan di Eropa. Sarjana komunikasi massa ini berharap untuk menjelaskan bagaimana sumber-sumber media bisa meresap pengaruh atas individu-individu dan masyarakat.
Dalam ketidakpuasan ini, teoretikus mencari alternatif konseptualisasi, dan mulai banyak mencari cara di mana media mungkin kurang langsung, tetapi masih penting, pada mempengaruhi masyarakat. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an alternatif ini dieksplorasi. Berikut kutipan yang sering dikutip dalam pengembangan penetapan agenda sastra tersebut diberikan untuk Bernard Cohen, dalam studinya tentang kebijakan luar negeri, Cohen (1963) mencatat bahwa “pers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”.
Dengan demikian, karya Cohen mulai kembali merangsang pencarian yang menyelidiki bagaimana media tidak langsung membentuk opini tentang suatu topik, tetapi malah justru topik yang dipandang cukup penting untuk menentukan pendapat. Sebagai contoh, berikut penelitian hipotesis ini akan memprediksi bahwa setiap orang menonton berita di televisi atau membaca koran akan setuju bahwa aborsi, pajak dan pertahanan nasional adalah isu-isu penting hari itu. Namun, media tidak akan mempengaruhi pendapat tertentu tentang topik ini (Miller, 2005: )
Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw adalah orang yang pertama kali memperkenalkan teori agenda setting ini. Teori ini muncul sekitar tahun 1973 dengan publikasi pertamanya berjudul “The Agenda Setting Function of The Mass Media” Public Opinion Quartely No. 37. Ketika diadakan penelitian tentang pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1968 ditemukan hubungan yang tinggi antara penekanan berita dengan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh pemilih. Meningkatnya nilai penting suatu topik berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut bagi khalayak (Nuruddin, 2007:195). Selain itu dalam studi ini, McCombs dan Shaw menemukan bahwa media sangat berpengaruh dalam menceritakan pembaca dan pemirsa apa yang harus dipikirkan, dan mereka menciptakan istilah penetapan agenda untuk menggambarkan proses ini.
Penelitian ini juga menemukan bahwa surat kabar turut menentukan apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Dengan kata lain, media massa menetapkan agenda kampanye tersebut. Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek penting dari kekuatan komunikasi massa. Dalam kampanye, model ini mengasumsikan bahwa jika para calon pemilih dapat diyakini akan pentingnya isu, maka mereka akan memilih kandidat atau partai yang diproyeksikan paling berkompeten dalam menangani isu tersebut.
Dalam studi pendahuluan tentang Agenda Setting, McCombs dan Shaw (1972) menunjukkan hubungan di antara beberapa surat kabar tertentu dan pembacanya dalam isu-isu yang dianggap penting oleh media dan publik. Jenjang pentingnya isu publik ini disebut sebagai salience. Akan tetapi, studi ini sendiri bukanlah Agenda Setting seperti yang kita maksudkan, karena arah penyebabnya tidaklah jelas. Baik media ataupun publik bisa saja menimbulkan kesepakatan tentang jenjang isu-isu publik.
Selain itu, studi pendahuluan ini masih berupa suatu perbandingan umum, bukan perbandingan individual, seperti yang ditetapkan dalam hipotesis Agenda Setting ini. McCombs dan Shaw (1972) mengakui keterbatasan ini dalam studinya dan mengungkapkan bahwa “penelitian-penelitian lain harus meninggalkan konteks sosial yang umum dan memakai konteks psikologi sosial yang lebih spesifik”. Sayang sekali saran ini tidak sepenuhnya diikuti dalam hampir seluruh penelitian agenda setting yang dilakukan kemudian (Becker, 1982).
Di pihak lain, studi-studi berikutnya tentang Agenda Setting berhasil menetapkan urutan waktu dan arah penyebab. Dalam kondisi tertentu, peneliti menunjukkan bahwa media massa benar-benar dapat menentukan agenda bagi khalayak yang spesifik, paling tidak pada suatu tingkat agregatif (cf. Shaw dan McCombs, 1977).
McLeod et al. (1974) membandingkan agenda pembaca sebuah surat kabar dengan pembaca surat kabar lain di Madison, Wisconsin. Dari pengamatan ini ia dapat menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu ada perbedaan di antara keduanya.
Dalam pemberian suara, media ternyata tidak menunjukkan efek pada pemilih muda, yang baru pertama kali memberikan suaranya dan hanya sedikit mempenga¬ruhi pemilih yang lebih tua. Pembagian lebih lanjut kelompok pemilih muda ini menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil menunjukkan bahwa mereka yang memiliki predisposisi partisan akan lebih dipengaruhi oleh agenda media. Akan tetapi, keterbatasan besar yang dihadapi penelitian ini disebabkan oleh liputan isu-isu publik surat kabar-surat kabar itu hampir sama.
Dalam suatu studi yang dilakukan pada orang-orang yang menonton dan tidak menonton perdebatan calon-calon presiden Amerika Serikat pada tahun 1976, peneliti dapat menunjukkan perbedaan dalam penentuan agenda di kalangan segmen-¬segmen khalayak yang spesifik. Di samping itu, ditunjukkan pula bahwa waktu memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Becker et al., 1979; McLeod et al., 1979).
Sebagai perbandingan, suatu studi Agenda Setting surat kabar dan televisi di Barquisimeto, Venezuela oleh Chaffee dan Izcaray (1975) menunjukkan tiadanya efek yang diharapkan. Penggunaan media massa oleh responden kedua peneliti ini tidak mengarah pada meningkatnya salience untuk isu-isu yang menerima liputan media yang besar. Di sini tampak bahwa posisi sosial ekonomi responden memainkan peranan dalam menentukan kepentingan relatif beberapa isu publik (http://teddykw1.wordpress.com).
Model agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi fokus penelitian telah bergeser dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan. Asumsi dasar teori ini, menurut Cohen (1963) adalah : The press is significantly more than a surveyor of information and opinion. It may not be successful much of the time in telling the people what to think, but it stunningly successful in telling leaders what to think about. To tell what to think about. artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan yang menonjol, media memberikan test case tentang isu apa yang lebih penting. Asumsi agenda setting model ini mempunyai kelebihan karena mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang lebih banyak mendapat perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa. oleh karena itu agenda setting model menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat (Elvinaro, dkk, 2007: 76-77).
2. Pokok-Pokok Teori
McCombs dan Shaw, penetapan agenda hipotesis adalah salah satu yang relatif mudah. Khusus, "agenda-setting adalah proses di mana media berita memimpin masyarakat dalam menetapkan kepentingan relatif untuk berbagai isu publik" (Zhu dan D Blood, 1997). Agenda media mempengaruhi agenda publik tidak dengan mengatakan "masalah ini penting" dalam sebuah cara terang-terangan, tetapi dengan memberikan lebih banyak ruang dan waktu untuk masalah itu dan dengan memberikan lebih menonjol ruang dan waktu. Artinya, jika berita utama dari koran, pers dan kisah utama tentang semua siaran televisi menyoroti sebuah penelitian yang menggembar-gemborkan yang menghafal kolesterol dalam meningkatkan penyakit jantung, masalah ini mungkin harus dilihat sebagai item penting pada agenda publik.
McCombs dan Shaw (1972) investigasi fenomena ini cukup lurus ke depan. Para peneliti ini pertama melakukan analisis isi surat kabar dan liputan televisi pemilihan presiden tahun 1968. Analisis isi ini dianggap sebagai waktu dan ruang yang diberikan kepada berbagai isu (misalnya, kebijakan luar negeri, hukum dan ketertiban, kesejahteraan umum, hak-hak sipil, dan kebijakan fiskal) dan menjabat sebagai sebuah representasi dari agenda media. McCombs dan Shaw kemudian melakukan interview 100 pemilih di Chapel Hill, North Carolina, area, dan bertanya kepada mereka apa yang mereka percaya isu-isu yang paling penting.
Efek dari model agenda setting terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu: apakah isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang persitiwa tertentu) atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau aksi protes (Elvinaro, dkk, 2007:77).
Mengikuti pendapat Chaffed an Berger (1997) ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini:
1. Teori ini mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menganggap penting suatu isu.
2. Teori ini mempunyai kekuatan memprediksikan sebab memprediksi bahwa jika orang-orang mengekspos pada satu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting.
3. Teori ini dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting.
Sementara itu, Stephen W. Littlejhon (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut:
1. Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda setting media itu terjadi pada waktu pertama kali.
2. Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya.
3. Agenda pubik mempengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dinggap penting bagi individu.
Dengan demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa agenda media mempengaruhi agenda publik, semantara agenda publik sendiri akhirnya mempengaruhi agenda kebijakan.
Untuk lebih jelasnya tiga agenda (agenda media, agenda publik dan agenda kebijakan) dalam teori agenda setting ini, ada beberapa dimensi yang berkaitan seperti yang dikemukakan oleh Mannheim (Severin dan Tankard Jr, 1992) sebagai berikut:
1. Agenda Media terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
a. Vasibilty (vasibilitas), yakni jumlah dan tingkat menonjolnya berita
b. Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak), yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
c. Valience (valensi), yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa.
2. Agenda khalayak, terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
a. Familiary (keakraban), yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.
b. Personal salience (penonjolan pribadi), yakni relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi.
c. Favorability (Kesenangan), yakni pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita.
3. Agenda kebijakan terdiri dari dimensi-dimensi berikut:
a. Support (dukungan), yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu.
b. Likelihood of action (kemungkinan kegiatan), yakni kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
c. Freedom of action ( kebebasan bertindak), yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah
Littlejhon dalam bukunya Theories of Human Communication ada dua level penyusunan agenda. Pertama menetapkan isu umum yang dianggap penting dan kedua menentukan bagian atau aspek dari isu tersebut yang dianggap penting. Dalam banyak cara, tingkat kedua sama pentingnya dengan tingkat pertama, karena memberi kita cara untuk membuat kerangka isu-isu yang mendasari agenda masyarakat dan media. Sebagai contoh, media mungkin memberitahu kita bahwa harga minyak dunia merupakan sebuah isu penting (tingkat pertama), tetapi media juga memberitahu kita bagaimana memahami perkembangan ini sebagai pengaruh dari tindakan ekonomi Amerika Serikat (tingkat kedua).
Siune dan Borre mendapati adanya tiga jenis pengaruh penyusunan agenda. Pertama, tingkat di mana media merefleksikan agenda masyarakat yang disebut representasi (representation). Dalam agenda representasional, masyarakat mempengaruhi media. Kedua, pemeliharaan agenda yang sama oleh masyarakat sepanjang waktu yang disebut dengan ketetapan (persistence). Dalam agenda masyarakat yang tetap, media memiliki sedikit pengaruh. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda masyarakat disebut juga dengan persuasi (persuasion). Jenis pengaruh yang ketiga ini – media mempengaruhi masyarakat – tepat seperti apa yang diperkirakan oleh teori klasik tentang penyusunan agenda.
Katherine Miller dalam Communication Theories menjelaskan McCombs, Shaw, dan Weaver (1997) membuat perbedaan antara tingkat pertama dan tingkat kedua penetapan agenda. Tingkat pertama penetapan agenda berhubungan dengan objek di media dan agenda publik. Ini adalah domain tradisional penyusunan agenda penelitian di mana media mempengaruhi apa yang dilihat sebagai isu-isu tersebut tersedia pada agenda publik. Sebaliknya tingkat kedua penetapan agenda atribut menganggap objek-objek ini. Pada tingkat ini, media tidak hanya menyarankan apa yang publik pikirkan, tetapi juga mempengaruhi harus berpikir tentang masalah ini. Sebagai contoh, pemeriksaan tingkat pertama penetapan agenda mungkin menyimpulkan bahwa kesejahteraan liputan media reformasi telah menetapkan topik sebagai agenda untuk umum. Tingkat kedua penetapan agenda akan berpendapat bahwa media juga ada masalah ini dalam cara-cara tertentu yang mungkin pro-kesejahteraan reformasi atau anti-reformasi kesejahteraan. Ini pindah ke tingkat kedua penetapan agenda bertentangan klasik agenda setting kutipan Cohen. Yaitu, tingkat kedua menunjukkan bahwa penetapan agenda media memang berpengaruh dalam menceritakan apa yang dipikirkan publik.
3. Menggunakan Teori
Teori penyusunan agenda ini menjelaskan jika media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberiataanya, sedangkan masyarakat mengikutinya. Menurut asumsi teori ini, media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus diilhat, tokoh siapa yang harus didukung.
Coba perhatikan hal-hal yang kita anggap penting untuk dibicarakan dalam pertemuan antarpribadi. Hal-hal itu pulalah yang menjadi pusat perhatian media. Memang, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada peristiwa penting dapat terjadi tanpa liputan media massa. jika memang media tidak meliputnya, hal itu berarti tidak penting. Akan tetapi, apakah media memusatkan perhatian hanya pada suatu peristiwa yang memang benar-benar penting atau perhatian medialah yang membuat peristiwa menjadi penting. Sebenarnya, media mengarahkan kita untuk memusatkan perhatian kita pada subjek tertentu yang diberitakan media massa. ini artinya, media massa menentukan agenda kita.
Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang).
Misalnya berita mengenai perseteruan antara KPK dan Polri yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata mencapai 2 jam atau lebih dalam siaran televisi dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hampir setengah halaman muka, berarti berita mengenai KPK dan Polri tersebut ditonjolkan sebagai liputan atau informasi utama yang harus disampaikan kepada masyarakat, karena terus diberitakan atau disiarkan hanya beberapa hari berita tersebut menjadi pembicaraan dalam kehidupan masyarakat dan menjadi agenda publik yang dianggap penting.
Dalam hal pemberitaan kasus KPK dan Polri yang mengedepankan proses penangkapan Bibit-Candra. Media massa mengagendakan berita mengenai hal tersebut sebagai berita yang paling diutamakan untuk disajikan kepada masyarakat. Pemberitaan mengenai hal tersebut juga mendominasi informasi pemberitaan di sejumlah media massa, baik televisi, radio maupun cetak. Sehingga agenda mengenai pemberitaan KPK tersebut menjadi pembicaraan dan perhatian utama masyarakat untuk mencari tahu dan mengamati apa yang terjadi dalam kasus tersebut. Agenda mengenai pemberitaan tersebut akhirnya mengalahkan berbagai pemberitaan lainnya.
Dengan penayangan pemberitaan mengenai kasus KPK vs Polri tersebut yang dijadikan sebagai hal yang dianggap penting oleh media massa kemudian mempengaruhi masyarakat untuk juga menganggap jika itu menjadi agenda yang penting. Sehingga masyarakat menjadi lupa dengan pemberitaan lainnya yang sebenarnya juga tidak kalah pentingnya. Seperti halnya berita musibah gempa bumi yang terajadi di Bima Nusa Tenggara Timur yang juga merenggut korban jiwa dan menghancurkan ratusan rumah dan bangunan lainnya seperti sekolah, namun berita mengenai musibah tersebut seakan menjadi tenggelam akibat pemberitaan kasus KPK dan Polri yang terus menjadi sorotan media massa.
Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience).
DAFTAR PUSTAKA
Elvinaro Adrianto, et all, Komunikasi Massa , Simbiosa Rekatama Media, Jakarta, 2007.
Griffin EM, 2003, A Fisrst Look At Communication Theory, The McGraw- Hill Company, Inc.
Littlejhon Stephen W, 2008, Theories of Human Communication, Wadsworth, California.
Katherine Miller, 2005, Communications Theories; Perspectives, Processes, and Contexts, The McGraw - Hill Company, Inc.
Nuruddin, 2007, Pengantar Komunikasi Massa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
http://teddykw1.wordpress.com, Teori Penentuan Agenda Setting, (15 November 2009)
http://komunitasmahasiswa.info, Teori Agenda Setting dalam menganalisa efek Film dan video (15 November 2009)
http://yekai2000.blogspot.com, Teori Agenda Setting, (10 November 2009)
Minggu, 07 Februari 2010
ANTROPOLOGI SEBAGAI LANDASAN ILMU KOMUNIKASI
Antropologi dikatakan sebagai salah satu akar atau landasan lahirnya ilmu komunikasi. Seiring dengan perkembangan antropolgi tersebutlah akhirnya para ahli budaya melihat jika dalam budaya juga sangat tergantung pada komunikasi. Hal inilah yang kemudian dikaji mengenai proses dari komunikasi tersebut sehingga lahirlah ilmu komunikasi dari antroplogi. Namun untuk lebih jelasnya mengenai keterkaitan tersebut sebaiknya kita terlebih dahulu melihat menganai antopologi dan komunikasi itu sendiri.
Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Menurut Levo-Henriksson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup – apapun bentuknya – baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat. Ross (1986,hlm 155) melihat kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan ia merupakan faktor utama (common domitor) bagi pembentukan gaya hidup (Alo Liliweri, 2003,8-9.
Peradaban Romawi dan Yunani menjadi dasar bagi antropologi terutama yang berkaitan dengan maslah estetika, etika, metafisika, logam dan sejarah. Mempelajari antropologi dapat dilihat dari segi sejarah harus didasarkan pada orientasi humanistic, sejarah dan ilmu alam, karena perbedaan kondisi iklim dan keadaan permukaan tanah akan membawa peradaban keaadaan fisik, karakteristik dan konstitusi suatu masyarakat yang berbeda (Hipocrates 1962: 135). Memformulasikan tradisi filosofis dan tradisi keilmuan akan memberikan proposisi-proposisi sebagai berikut;
1. Segala sesuatu itu mempunyai sebuah bentuk yang menentukan maksud dari bentuk tersebut
2. Semua hal yang ada dalam suatu Negara akan mengalami perubahan secara terus menerus; perubahan tersebut akan berkisar antara integrasi dan disintegrasi
3. Setiap bentuk merupakan sebuah struktur yang setiap bagiannya tersusun secara berbeda-beda tergantung dari kepentingannya
4. Desain setiap bagian memberikan sumbangan pada keseluruhan sistem sosial melalui aktualisasi
5. Dalam setiap sistem terjadi penyaringan untuk membuat keseimbangan dalam setiap bagian sistem.
6. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian system akan menganggu aktivitas dan akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam sistem tersebut.
7. Perubahan secara besar-besaran merupakan hasil modifikasi internal dari suatu bagian yang sedang diperluas dan kemudian dikontrol dengan membangun kembali harmosisasi dalam sistem.
Budaya sebagai konsep sentral. Linton (1945:32) memberikan definisi budaya secara spesifik, yaitu, budaya merupakan konfigurasi dari prilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Budaya secara umum telah dianggap sebagai milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial di mana didalamnya terdapat proses peniruan. Selanjutnya konsep budaya telah menuntun para pakar etnologi Amerika dan Jerman kedalam suatu bentuk teoritik. Setelah Radcliffe-Brown (1965:5) para ilmuan antropologi sosial Prancis dan Inggris cenderung untuk membedakan konsep budaya dan sosial dan cenderung membatasi kedua konsep tersebut pada cara belajar berfikir, merasa, dan bertindak, yang merupakan dari proses sosial.
C. Kluchohn menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan yang dikelompokkan menjadi enam: deskriptif, historical, normatif, psikologis, struktural dan genetic (Saifuddin, 2005: 83), Klukhohn melalui Universal Categories od Culture (1953) merumuskan 7 unsur kebudayaan yang unierasl (Koentjaraningrat, 1979: 218) yaitu:
a. Sistem teknologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup menusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagainya.
b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekomoni (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lainnya).
c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hokum dan sistem perkawinan).
d. Bahasa (lisan dan tulisan).
e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
f. Sistem pengetahuan.
g. Religi (sistem kepercayaan) (Burhan Bungin, 2006: 53).
Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu relitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T. Hall, “budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya (Deddy Mulyana, 2004 :14).
Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi. Karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antara budaya dan komunikasi adalah timbale balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dn komunikasi pun takkan eksis tanpa budaya. Entitas yang satu takkan berubah tanpa perubahan entitas lainnya. Menurut Alfred G. Smith, budaya adalah kode yang kita pelajari bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Komunikasi membutuhkan perkodean dan simbol-simbol yang harus dipelajari. Godwin C. Chu mengatakan bhawa setiap pola budaya dan tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dipahami, keduanya harus dipelajari bersama-sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya (Deddy Mulyana, 2004: 14).
Beberapa bidang konsep antropologi budaya yang dikaji yang sangat relavan dengan komunikasi yaitu;
1. objek simbol, umpamanya bendara melambangkan bangsa dan uang menggambarkan pekerjaan dan barang-barang dagangan (komoditi)
2. Karakteristik objek dalam kultur manusia. contoh warna unggu dipahami untuk “kerajaan”, hitam untuk “duka cita” warna kuning untuk “kekecutan hati”, putih untuk untuk “kesucian”, merah untuk “keberanian” dan sebagainya
3. Ketiga adalah gesture dimana tindakan yang memiliki makna simbolis, senyuman dan kedipan, lambaian tangan, kerutan kening, masing-masing memiliki makna tersendiri dan semuanya memiliki makna dalam konteks cultural.
4. Simbol adalah jarak yang luas dari pembicaraan dan kata-kata yang tertulis dalam meyusun bahsa. Bahasa adalah kumpulan simbol paling penting dalam kultur.
Gatewood menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusian itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya, maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayan, oleh karena itu kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Berdasarkan pendapat Gatewood itu kita akan berhadapan dengan pernyataan klasik tentang hubungan antara komunikasi dengan kebudayaa, apakah komunikasi dalam kebudayaan atau kebudayaan ada dalam komunikasi? ada satu jawaban netral yang disampaikan oleh Smith (1976) bahwa; “komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Dalam tema atau bagian uraian tentang kebudayaan dan komunikasi, sekurangnya-kurangnya ada dua jawaban: pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan kebuadayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi (Alo Leliweri, 2004, 21).
Budaya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Masyarakat terbentuk dari nilai norma yang mengatur mereka. Manusia merupakan homostatis di mana komunikasi membentuk kebudayaan dan juga bagian dari kebuadayaan itu sendiri. Dalam kehidupan budaya masyarakat dan intekasi menyebabkan maka terjadinya proses komunikasi yang menjadi alat bantu atau guna membantu mereka dalam berinteraksi dengan baik. Bahasa yang merupakan alat komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh proses budaya. Dengan adanya kesamaan mengenai memaknai sesuatu tersebutlah sehingga membentuk suatu kebudayaan yang lebih baik dalam interkasi. Pengaruh komunikasi yang disebabkan oleh budaya ini pulalah yang menjadikan perbedaan pemaknaan dari setiap budaya masyarakat dalam berkomunikasi. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang lebih dahulu ada dalam memahami perkembangan interaksi manusia, kemudian antropologi ini terus berkembang sehingga mulai melihat dan mengkaji pada prose komunikasi yang tercipta. Inilah yang kemudian menjadikan antropologi menjadi salah satu landasan sehingga lahirnya ilmu komunikasi.
Komunikasi, sosial, budaya, dan perkembangan peradaban sekarang ini adalah tidak hanya sekedar unsur-unsur dan kata-kata saja tetapi merupakan konsep yang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sehingga studi komunikasi sangat dipengaruhi oleh kajian antropologi begitu juga perkembangan antropologi yang didasarkan pada kekuatan manusia dalam menciptakan peradabannya sangat terkait oleh komunikasi.
Daftar Pustaka:
Alo Leliweri, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LKIS, Yogyakarta.
_________, 2004, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Deddy Mulyana, 2004, Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung.
SOSIOLOGI SEBAGAI LANDASAN ILMU KOMUNIKASI
Sosiologi sebagai landasan ilmu komunikasi dapat dilihat terlebih dahulu dari fokus sosiologi itu sendiri seperti apa, apakah ada hubungan atau tidak dengan komunikasi sehingga bisa menjadi kontributor untuk lahirnya ilmu komunikasi. Namun sebaliknya bila tidak ada hubungan atau keterkaitan dengan komunikasi tentunya tidak bisa dijadikan sebagai landasan lahirnya ilmu komunikasi. Sebelum kita melihat keterkaitan sosiologi dengan komunikasi sehingga menjadi landasan lahirnya ilmu komunikasi, maka terlebih dahulu kita melihat dulu mengenai sosiologi itu sendiri.
Kata sosiologi berasal dari Sofie, yaitu bercocok tanam atau bertaman, kemudian berkembang menjadi socius, dalam bahasa latin yang berarti teman, kawan. Berkembang lagi menjadi kata sosial, artinya berteman, bersama, berserikat. Secara khusus kata sosial maksudnya adalah hal-hal mengenai berbagai kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Dengan kata lain menurut Hassan Shadily sosiologi adalah ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya, (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya) dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah lau serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupannya(Shadily, 1993: 1-2).
Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger,1985:3). Berbeda dengan matematika, misalnya, yang objeknya mudah dikenal sifatnya pasti yakni angka-angka, subjek kajian sosiologi paling sulit dimengerti dan diramalkan karena perilaku manusia merupakan persilangan antara individualitas dan sosialitas. Keduanya saling mengisi dan meresapi. Sosiologi mempelajari perilaku manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Sosiologi mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri usal-usul tumbuhnya, serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotanya (Occupational Outlook Handlook, 1980-1981,US Departement of Labor, 1980: 431).
Sosiologi adalah ilmu yang membahas masalah tatanan/susunan. Melalui ini orang mengetahui berbagai fenomena yang saling mempengaruhi dalam pola-pola kehidupan masyarakat. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama (Soemardjan dan Soemardi, 1964 : 14). Singkat kata, dapat dikatakan bahwa sosiologi tidak hanya merupakan suatu kumpulan subdisplin segala bidang kehidupan, melainkan merupakan suatu studi tentang masyarakat. Walaupun sebagian objek sosiologi sama dengan ilmu pengetahuan lainnya, namun sosiologi memandang kehidupan bermasyarakat dengan caranya sendiri (Narwoko dan Suyanto, 2004: 4).
Orang yang pertama menggunakan istilah sosiologi adalah Auguste Comte (1798-1857). Erikson (Ritzer,2004: 16) mengatakan bahwa, menurut Erikson bukanlah penemu sosiologi modern, karena selain teori sosiologi konservatif banyak dipelajari oleh gurunya Claude Hanri-Saint Simon (1760-1825), Adam Smith atau para moralis Skotlandia adalah sumber sebenarnya dari sosiologi modern. Namun demikian, Comte memiliki jasa yang luar biasa untuk memperkenalkan sosiologi kepada dunia. Orang lain yang berjasa pada awal-awal perkembangan sosiologi adalah Emile Dulkheim (1858-1917). Karya-karya Dulkheim masih diwarisi oleh pandangan pencerahan pada sains dan reformasi sosial (Burhan Bungin, 2007: 15-16)
Fokus kajian ilmu sosiologi adalah pada interaksi sosial yang diisyaratkan oleh adanya fungsi-fungsi komunikasi. Sosiologi itu sendiri berdasarkan konsepsional pragmatis (Nina W. Syam. 2009: 3-6) menyimpulkan sebagai berikut:
1. Sosiologi adalah ilmu sosial, bukan ilmu alam atau ilmu kerohanian. Pembedaan tersebut bukanlah pembedaan tentang metode, melainkan menyangkut pembedaan isi. Ini berguna untuk membedakan ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan dengan gejala alam dan kemasyarakatan. Pembedaan tersebut untuk membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan ilmu alam lainnya.
2. Sosiologi bukanlah disiplin ilmu normatif, melainkan disiplin ilmu kategoris; artinya sosiologi terbatas pada apa yang terjadi kini, tidak pada apa yang terjadi atau seharusnya terjadi. Sebagai ilmu, sosiologi membatasi diri teradap persoalan penilaian, sehingga sosiologi tidak menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang. Juga, tidak memberi petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dan politik. Dengan kata lain pandangan-pandangan sosiologi tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik; apa yang benar dan apa yang salah, serta segala sesuatu yang bersangkut paut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sosiologi menetapkan masyarakat pada suatu waktu dan tidak dapat menentukan bagaimana nilai-nilai tersebut seharusnya. Jadi, sosiologi berbeda dengan filsafat kemasyarakatan, filsafat politik, etika dan agama.
3. Sosiologi merupakan ilmu murni (pure sience), bukan merupakan ilmu terapan atau terpakai (applied sience). Dari sudut penerapannya perlu dicatat, ilmu pecah menjadi dua bagian: pure sience dan applied sience. Pure sience ialah ilmu yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu secara abstrak, yakni hanya untuk meningkatkan mutu tanpa menggunakannya dalam masyarakat. Applied sience ialah ilmu yang mempergunakan dan menetapkan ilmu itu dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat.
4. Tujuan dari sosiologi adalah menetapkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat, bukan untuk mempergunakan pengetahuan itu terhadap masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu yang bertujuan mendapatkan fakta-fakta dari masyarakat yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan masyarakat, meskipun sosiologi bukan berarti tidak mempunyai kegunaan sama sekali.
5. Sosiologi merupakan ilmu abstrak, bukan ilmu konkret; artinya, perhatian sosiologi bukan pada bentuk dan pola-pola peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, melainkan pada wujudnya yang konkrit. Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip atau hukum interaksi antar manusia serta sifat hakikat, bentuk isi dan struktur dari masyarakat manusia.
6. Sosiologi merupakan ilmu empiris rasional yang menyangkut metode yang digunakannya.
Interaksi sosial yang berlangsung rutin dan tindakan sosial yang dilakukan orang-orang, bagi para ahli sosiologi adalah sebuah proses yang membentuk kenyataan sosial yang perlu dipernyatakan dan dibongkar untuk kemudian merangakainya kembali dalam suatu bentuk analisis tertentu yang dapat diteliti, dan dikomunikasikan kepada orang lain, serta diuji kembali kebenarannya.
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran pada sesuatu atau perikelakuan yang lain (Narwoko dan Suyanto, 2004: 15-16).
Sebagaimana pembentukan kelompok yang terjadi melalui proses interkasi sosial, pembentukan masyarakat pun terjadi melalui proses interaksi antarkelompok. Proses pembentukan kelompok dan masyarakat luas itu terjadi melalui komunikasi. Komunikasi berawal dari pertemuan atau perkenalan. Komunikasi merupakan proses interaksi karena adanya stimulus (rangsangan) yang memiliki arti tertentu dan dijawab oleh orang lain (response), baik secara lisan, tertulis, maupun aba-aba. E. Bogardus mengemukanan “Communication gesture by one person which produces a response in the form of a verbal or silent symbol by second person”. Komunikasi menghasilkan interkasi sosial yang memungkinkan adanya kontak sosial (social contact). Kontak sosial merupakan usaha tindakan pertama, meskipun kontak ini belum mampu membentuk komunikasi yang berkelanjutan. Pembentukan komunikasi terjadi melalui kontak sosial. Itulah sebabnya, pembahasan komunikasi selalu berkaitan dengan proses sosial, yakni kegiatan pertukaran pikiran dan modifikasi sistem nilai. Komunikasi sosial di sebuah masyarakat merupakan proses yang tidak bisa dilepaskan dari sistem nilai masyarakat.
Sebagai sebuah proses maka komunikasi mentransfer lambang-lambang yang mengandung arti sehingga komunikasi dapat dikatakan sebagai proses sosial. Lambang-lambang yang diberi makna oleh individu mempunyai arti khusus bagi masyarakat tersebut. Karena proses adalah any conntected series of event, secara otomatis proses komunikasi dapat disebut sebagai proses sosial. Menurut Lambert (1965:150) komunikasi sebagai suatu proses, mempunyai beberapa segi, yaitu objektif (lambiag sendiri) dan subjektif (arti yang diberikan pada sesuatu lambang) (Nina W. Syam, 2009:14).
Suatu kenyataan bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempunyai berbagai materi penelitian yaitu segala kejadian nyata dalam kehidupan manusia. makna menjadi sangat penting dalam konteks sosial, di mana menjadi makna menjadi sangat penting ditafsirkan oleh individu yang mendapatkan informasi, karena makna yang dikirim oleh komunikator terhadap komunikan menjadi sangat subjektif. Ini ditentukan oleh kontak sosial ketika informasi itu dikirim dan diterima. Sosiologi menjelaskan bahwa komunikasi menjadi unsur terpenting dalam seluruh kehidupan manusia. kontak sosial menjadi sangat bermakna karena ada komunikasi sehingga kehidupan sosial akan menjadi hidup, tanpa komunikasi interaksi sosial tidak akan terjalin.
Asal mula kajian komunikasi dalam sosiologi bermula dari akar tradisi pemikiran Karl Marx, di mana Marx sendiri adalah masuk sebagai pendiri sosiologi yang beraliran Jerman sementara Claude Hanri-Simon,Auguste Comte, dan Emile Dukheim merupakan nama-nama para ahli sosiologi yang beraliran Perancis. Fokus Interkasi dalam masyarakat adalah komunikasi itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh sosiologi bahwa komunikasi menjadi unsur terpenting dalam seluruh kehidupan manusia. (Burhan Bungin, 2006: 27)
Hubungan komunikasi dengan sosiologi terikat pada proses peningkatan kerjasama antarmanusia, yakni apakah kerjasama itu antar individu ataukah antar individu dengan masyarakat yang lebih luas. Masyarakat dalam hal ini merupakan satuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan stabil. Masyarakat sebagai kesatuan komplementer satu sama lain karena masyarakat tidak akan ada tanpa individu dan individu takkan ada tanpa masyarakat. Ini dapat dilihat dari kenyataan manusia dipengaruhi oleh masyarakatdalam proses pembentukan pribadinya, sebaliknya, individu mempengauhi masyarakat bahkan dapat menyebabkan perubahan besar terhadap masyarakat. Kedua unsur ini terbukti bahwa manusia adalah makhluk berpikir dapat mengambil kesimpulan dan mempelajari dari pengalamannya selain dari hasil pendidikannya untuk mencetuskan ide-ide baru. Sehingga masyarakat selalu berada dalam proses sosial yakni proses pembentukan masyarkat dan proses pembentukan ini terjadi dengan sendirinya bias berjalan dengan dua kemungkinan yaitu sarasi atau bertentangan. Pertentangan mudah terjadi apabila sistem prilaku dari setiap individu atau kelompok tidak dapat menerima tugas dan peran yang “diserahkan” kepadanya, proses ini semua bisa terjadi karena adanya komunikasi.
Proses komunikasi sekurang-kurangnya memerlukan dua orang, seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain sehingga proses interaksi dan sosial terjadi, sangat tergantung pada norma-norma masyarakatnya. Tetapi, karena norma di dalam masyarakat juga dibentuk oleh proses komunikasi. Struktur komunikasi dapat mencerminkan masyarakat. Kesimpulannya, proses komunikasi dan sosiolgi sangat erat kaitannya dengan segi objektif dan subjektif. Maksudnya, masalah simbolisasi sehingga pendekatan simbolis pada proses komunikasi melalui pemahaman interaksionisme simbolik sangatlah relevan.
Komunikasi dan sosiologi merupakan dua hal yang saling keterkaitan, dengan demikian sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sudah lama berkembang, sedangkan komunikasi merupakan proses interaksi yang berada dalam kajian sosiologi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sosiologi menjadi landasan untuk lahir dan berkembangnya ilmu komunikasi untuk mengkaji kualitas interaksi sosial masyarakat.
Daftar Pustaka:
Burhan Bungin, 2006, Sosiologi Komunikasi, Prenada Media Group, Jakarta.
Deddy Mulyana, 2004, Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung.
J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto (ed), 2004, Sosiologoi Teks Pengantar dan Terapan,Prenada Media, Jakarta.
Nina W. Syam, 2009, Sosiologi Komunikasi, Humaniora, Bandung.
DAMPAK SOSIAL DARI PENGEMBANGAN INDUSTRI MEDIA MASSA DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DI BIDANG KOMUNIKASI MASSA
Secara perkembangannya, media massa di Indonesia saat ini jauh lebih berkembang dan berkiprah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Saat ini media massa di Indonesia mulai bertumbuhan di mana-mana dan bisnis media massa juga mulai menjadi perhatian utama bagi para pengusaha. Namun di samping itu, perkembangan media juga menimbulkan dampak sosial yang memprihatinkan, hal ini dikarenakan saat ini industri media baik cetak maupun elektronik tidak lagi memperhatikan kualitas informasi yang diberikan kepada masyarakat, melainkan hanya melihat dari sisi keuntungan yang akan diperoleh perusahaan media, sehingga berdampak masyarakat terutama bagi remaja.
Salah satu contohnya pemberitaan yang diberitakan dengan penulisan dan penampilan foto yang vulgar, seperti adanya tabloid kuning dan lampu merah yang sebenarnya kinerjanya jauh melenceng dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan ini sangat berpengaruh terhadap perubahan psikologis masyarakat pembacanya. Demikian juga dengan penanyangan sejumlah sinetron atau film yang kerap kali ditanyangkan dan ditonton oleh semua kalangan umur.
Pemberitaan atau informasi yang disuguhkan oleh kalangan media massa juga terkadang tidak lagi sesuai dengan fungsi media massa secara keseluruhan, melainkan media massa saat ini lebih tarpaku pada fungsi menghibur saja, sehingga sejumlah informasi yang ditampilkan hanya berkisar mengenai fashion, mode atau yang paling banyak saat ini adalah mengenai selebritis, mulai dari gaya hidup mereka hingga masalah pribadi seperti perceraian. Hal inilah yang sangat disayangkan, karena nantinya secara tidak langsung ini akan menjadi panutan masyarakat dalam kesehariannya.
Di sisi lain, tingginya kebutuhan dan permintaan audiens pada infotainmen juga menjadi alasan bagi perusahaan media untuk terus menambah programnya yang berhubungan dengan hal tersebut. Fenomena ini bisa dilihat dari berapa banyak persentase program sinetron, gosip dan lainnya dibandingkan dengan program yang bersifat berita dan pendidikan. Seperti Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang bersimbolkan pendidikan, namun program yang ditampilkan lebih banyak yang tidak berhubungan dengan pendidikan melainkan lebih kepada sinetron, dangdut dan gosip.
Memang saat ini ada sejumlah kebijakan pemerintah yang telah disahkan berkaitan dengan media massa, seperti Undang-Undang No.40 tahun 1999, Undang-Undang Penyiaran No.32 tahun 2002, dan yang baru saja disahkan DPR yaitu Undang-Undang Pornografi dan Porno Aksi. Di samping itu media massa sendiri juga selalu diawasi oleh Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun dalam aplikasinya semua kebijakan itu masih sangat jauh dari harapan. Hal ini tampak dari sistem kinerja media massa yang masih sangat banyak memberitakan atau menginformasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dan melenceng dari peraturan yang telah dikeluarkan.
Di sisi lain, peran masyarakat dalam mengawasi kinerja media massa juga sangat jauh dari harapan. Mereka tidak merasa memiliki peran dan dapat menentukan arah kinerja media, karena bagiamanapun media massa akan selalu membutuhkan masyarakat, jika masyarakat tidak menerima media massa tersebut maka pastinya media massa tidak akan dapat berkerja. Hal inilah yang saat ini terjadi pada masyarakat kita, mereka lebih memilih untuk bersifat pasif pasif, sehingga hampir tidak ada wadah yang mengontrol dan mengkaji materi penyiaran yang sesuai dengan Undang-undang penyiaran yang telah diterapkan pemerintah.
PERKEMBANGAN KOMUNIKASI MASSA DI INDONESIA
a. Surat Kabar dan Majalah
Surat kabar pertama sekali terbit di Jerman pada tahun 1609 yang bernama Ariva Relation Oder Zeitung, kemudian pada tahun 23 Mei 1622 di London terbit Weekly News. Namun surat kabar yang benar-benar terbit secara teratur setiap hari adalah Oxfard Gazette pada tahun 1665, yang kemudian namanya diganti menjadi London Gazette.
Komunikasi massa dikenal di Indonesia sejak abad ke-18, tahun 1744 ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh pengusahaan Belanda. Kemudian terbit Vendu Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Ketika memasuki abad ke-19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang semuanya diusahakan oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir kaum pribumi yang mengerti bahasa Belanda. Kemudian media massa yang dikelola oleh pribumi mulai dengan terbitnya majalah Bianglala tahun 1854 dan Bomartani 1885, keduanya di Weltevreden. Selain itu pada tahun 1856 terbit Soerat kabar Bahasa Melajoe di Surabaya. Umumnya media itu terbit di Jawa. Ini dikarenakan percetakan sebagai sarana yang sangat vital untuk menerbitkan media hanya ada di Jawa. Itu sebabnya pers di Sumatera dan pulau-pulau lainnya berkembang belakangan. Di Padang misalnya muncul terbit pertama kalinya Pelita Kecil tahun 1882 dan Partja Barat tahun 1892. Kaum pribumi kemudian mulai banyak menerbitkan media sendiri pada abad ke-20.
Setelah kemerdekaan, kehidupan pers ikut menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan. Media pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Seperti di Jakarta terbit Merdeka pada 1 Oktober 1945, di Yogyakarta terbit Kedaulatan Rakya tahun 1945, di Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Pos tahun 1953. Tetapi suasan bebas ini hanya berlangsung selama masa Demokrasi Liberal (1945-1959). Setelah itu muncul Demokrasi terpimpin (1959-1965), pada masa ini banyak pembatasan terhadap kehidupan pers, kerenanya pers Indonesia pada masa itu boleh disebut sebagai pers otoriter. Kemudian pers di Indonesia kembali sedikit menerima udara bebas pada masa Orde Baru lahir tahun 1966 dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1974. Hal ini terlihat dengan terbitnya kembali sejumlah surat kabar yang pada masa Demokrasi Terpimpin pernah di berdel, yaitu Merdeka (Juni 1966), Berita Indonesia (Mei 1966), Indonesia Observer (September 1966), Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober 1968), Pedoman (November 1968) dan Abadi (Desember 1968).
Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila, cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab. Di mana selanjutnya mendapat penegasan dari Tap MPR No.IV/1973 dan Tap MPR No.III/1983 agar pers di Indonesia dijadikan sebagai pers sehat, yaitu pers yang menjalankan fungsinya sebagai penyebar infomasi yang objektif, menyalukan aspirasi rakyat serta memperluas komunikasi dan partisipasi rakyat.
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pengekangan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itulah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.
Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagai persoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke Presiden Abdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalan baru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih.
Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasi dan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkan kesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggu sejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers, mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDI Perjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melalui aksi-aksi intimidasi terhadap pers. Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melalui berbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancaman internal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkan etika.
Departemen Penerangan, lembaga kontrol yang dua dasawarsa lebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi Pers, dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itu menegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Babak baru perkembangan pers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya, banyak catatan sejarah pers di Indonesia berada pada titik rekaman tekanan dan intimidasi. Pers Indonesia terperangkap dalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah. Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baru yang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya. Kebebasan pers setelah masa reformasi membawa peluang besar bagi kelompok pengusaha.
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.
Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.
Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisa diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam yang ternyata memang terbukti sangat efektif bahkan sampai pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono kondisi komunikasi massa di Indonesia tampak jauh lebih baik dari sisi penyajiannya, namun sampai saat ini banyak materi-materi yang disajikan, menyimpang dari apa yang dicita-citakan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya media cetak maupun elektronik hadir dikalangan masyarakat, yang orientasinya lebih kepada meraut keuntungan dunia usaha.
B. Televisi
Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus 1962, bertepatan dengan berlangsungnya pesta olahraga se- Asia IV atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi republik Indonesia (TVRI) dipergunakan sebagai panggilan stasiun (station call) sampai sekarang (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999) Selama tahun 1962-1963 TVRI berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya.
Sejalan dengan kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar diberbagai wilayang agar dapat menerima siaran televise, maka pada tanggal 6 Agustus 1976, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan satelit Palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi. Dalam perkembangannya satelit Palapa A selanjutnya Satelit Palapa B, Palapa B-2, Palapa B2P dan Palapa B-4 diluncurkan tahun 1992 (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999).
TVRI yang berada di bawah, Departemen Penerangan, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta jiwa. Sejak tahun 1989 TVRI mendapat saingan televise siaran lainnya, yakni RCTI yang bersifat komersial. Kemudian secara berturut-turut berdiri stasiun televise swasta lainnya seperti SCTV, TPI, ANTV , dll.
Meskipun lima stasiun televisi sudah beroperasi, televise siaran tidaka akan pernah menggeser kedududkan radio siaran, karena radio siaran memiliki karakteristik tersendiri. Televise siaran dan rasio siaran, serta media lainnya berperan salaing mengisi. Televise siaran menggeser radio siaran mungkin dalam hal porsi iklan.
C. Radio
Radio siaran pertama di Indonesia (waktu itu bernama Nederlands Indie-Hindia Belanda), ialah Bataviase radio siaran Vereniging (BRV) di Batavia (Jakarta tempo dulu) yang resminya didirikan pada tanggal 16 juni 1925 pada saat Indonesia masih dijajah Belanda dan berstatus swasta. Setelah BRV berdiri secara serempak berdiri pula badan-badan radio siaran lainnya di kota Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya dan yang paling terbesar dan terlengkap adalah radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Mij) di Jakarta, Bandung, dan Medan, karena mendapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pelopor timbulnya radio siaran usaha bangsa Indonesia adalah Solosche Radio Vereniging (SRV) yang didirikan di kota Solo pada tanggal 1 April 1933 oleh Mangkuneoro VII dan Ir. Sarsito Mangunkusumo.
Ketika Belanda menyerah pada Jepang tanggal 8 Maret 1942, sebagai konsekuensinya, radio siaran yang tadinya berstatus perkumpulan swasta dinonaktifkan dan diurus oleh jawatan khusus bernama Hoso Kanri Kyoku, merupakan pusat radio siaran yang berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai cabang-cabang yang bernama Hoso Kyoku di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Rakyat Indonesia pada masa ini hanya boleh mendengarkan siaran Hoso Kyosu saja. Namun demikian di kalangan pemuda terdapat beberapa orang dengan risiko kehilangan jiwa, secara sembunyi-sembunyi mendengarkan siaran luar negeri, sehingga mereka dapat mengetahui bahwa pada 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah kepada sekutu.
Dengan demikian, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tidak dapat disiarkan langsung melalui radio siaran karena radio siaran masih dikuasai oleh Jepang. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat disiarkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris pukul 19.00 WIB namun hanya dapat didengar ileh penduduk disekitar Jakarta. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945, naskah bersejarah itu dapat dikumandangkan kelluar batas tanah air dengan risiko petugasnya diberondong senjata serdadu Jepang. Tak lama kemudian dibuat pemancar gelap dan berhasil berkumandang di udara radio siaran dengan station call”Radio Indonesia Merdeka”. Dari sinilah Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pimpinan lainnya menyampaikan pidato melalui radio siaran yang ditujukan kepada rakyat Indonesia.
Pada tanggal 11 September 1945 diperoleh kesepakatan dari hasil pertemuan antara para pemimpin radio siaran untuk mendirikan sebuah organisasi radio siaran. Tanggal 11 September itu menjadi hari ulang tahun RRI (Radio Republik Indonesia).
Sampe akhir tahun 1966 RRI adalah satu-satunya radio siaran di Indonesia yang dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah. Peran dan fungsi radio siaran ditingkatkan. Selain berfungsi sebagai media informasi dan hiburan, pada masa orde baru, radio siaran melalui RRI menyajikan acara pendidikan persuasi. Acara pendidikan yang berhasil adalah “Siaran Pedesaan” yang mulai diudarakan pada bulan September 1969 oleh stasiun RRI Regional. Selanjutnya, stasiun RRI Regional juga membantu menginformasikan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana, transmigrasi, kebersihan lingkungan, imunisasi ibu hamil dan balita. Sejalan dengan perkembangan social budaya serta teknologi, maka bermunculan beberapa radio siaran amatir yang diusahakan oleh perorangan. Keadaan ini tidak dapat dihindari, namun perlu ditertibkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Karena jumlah radio siaran swasta niaga semakin lama semakin banyak, serta fungsi dan kedudukannya penting bagi masyarakat, maka pada tahun 1974 stasiun-stasiun radio siaran swasta niaga berhimpun dalam wadah yang dinamakan Persatuan Radio siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI).
D. Film
Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang berjudul Lady Van java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh david. Pada tahun 1927/1928 Krueger Corporation memproduksi film Euis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung , Si Conat, dan Pareh . Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan Cina.
Film bicara yang pertama berjudul Tentang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun . Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang dikelola oleh Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film feature dan fil documenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun, tatkala bangsa Indonesia sudah memprokalmasikan kemerdekaanya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secra resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah berita Film Indonesia atau BFI Bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional (Effendy, pada Komala, dalam Karlinah, dkk. 1999).
Referensi:
1. Sudirman Tebba, Jurnalisme Baru, Kalam Indonesia, Jakarta, 2005
2. Lukas Warsono, Pers Indonesia, Pergaulan untuk Kebebasan, http://www.Indo-News.com.
3. Elvinaro Adrianto, et all, Komunikasi Massa , Simbiosa Rekatama Media
PENGERTIAN ILMU KOMUNIKASI
a. Menurut Bittner komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Mass communication is massages communicatred through a mass medium to large number of people). Dari definisi Bitter dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. media komunikasi yang termasuk media massa adalah: radio siaran dan televise-keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah-keduanya disebut sebagai media cetak, serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop.
b. Gerbner komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimilki orang dalam masyarakat industri. Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, disistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, dwimingguan arau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh industri.
c. Menurut Freidson, Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat.
d. Menurut Wright, Komunikasi massa didefinisikan sebagai berikut: This new form can be distinguished from older types by the following major characteristics: it is directed toward relatively large, heterogenouse, and anonymous audience; Messages are transmitted publicly, of ten-times to reach most audience members simultaneously, and are transient in character; the communicator tends to be, or to operate within, a complex organization that may involeve great expense. Definisi komunikasi massa yang dikemukakan Wright ini nampaknya merupakan definisi lengkap, yang dapat mengambarkan karakteristik komunikasi massa secara jelas. Menurut Wright, bentuk baru komunkasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kabanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks dan melibatkan biaya besar. Definisi Wright mengemukakan karakteristik komunikan secara khusus, yakni anonim dan heterogen. Ia juga menyebutkan pesan diterima komunikan secara serentak (simultan) pada waktu yang lama, serta sekilas (khusus untuk media elektronik, seperti radio siaran dan televisi).
e. Menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988) disebutkan, “Mass communication is a process mass-produced message are transmitted to large, anonymous, and heterogeneous masses of receivers (komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim dan heterogen)”.